Home » , » Sungai-sungai mengering di Talang Mamak

Sungai-sungai mengering di Talang Mamak

Written By Unknown on Jumat, 28 Februari 2014 | Jumat, Februari 28, 2014

Di Kecamatan Rakit Kulim Desa Durian Cacar ada sungai namanya Sungai Mahang. Kecamatan Rakit Kulim ini merupakan kecamatan yang masih muda di Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau. Sungai ini melewati beberapa perkampungan termasuk juga dusun Sungai Mahang. Penduduk dusun hidup dari sungai ini. Mereka mandi dan bahkan saat-saat tertentu mengambil air minum dari situ. Banyak aktivitas masyarakat setempat terkait dengan sungai ini, mulai dari aktivitas sehari-hari seperti mencari ikan sampai pada upacara-upacara adat seperti cuci lantai dan mandi ke sungai pada pesta pernikahan adat.

Sewaktu bertugas di wilayah desa itu penulis pun cukup sering singgah di sungai tersebut untuk mandi terlebih pada musim kemarau ketika sumur galian mengering tanpa air. Kala kemarau airnya menjadi lebih bersih, di kala musim hujan air lebih keruh dan terkadang permukaan sungai naik sampai mengakibatkan banjir di sekitar sungai yang tentu menggenangi juga ladang-ladang masyarakat dan rumah-rumah penduduk yang berada dekat dengan aliran sungai. Begitu banyak cerita anak-anak sampai orang dewasa mengenai kegiatan mereka di sungai itu. Sayangnya cerita itu tidak lagi bisa diteruskan oleh generasi yang berikut. Ini tentu memilukan. Sebab sungai tersebut tidak lagi cocok disebut sungai yang terus mengalirkan kesejukan dan kehidupan bagi alam, tumbuhan dan pepohonan termasuk kehidupan manusia yang ada di sekitarnya. Sungai telah mengering. Air yang dulu tinggi dan terdengar mendesis alirannya kini menjadi sungai yang hampir tidak ada airnya lagi, kecuali di musim hujan. Sesudahnya air pun pergi entah kemana. Ikan-ikan seperti gabus, kepiting, udang, kepah, kura-kura, dsb yang dulu gampang dicari untuk dimakan kini sudah pergi entah ke mana. Kesejukan dan kesuburan dulu yang dihasilkan oleh aliran sungai kini sangat berkurang. Mengapa?

Hanya dalam kurun waktu tiga tahun ketika penulis berada di sana melihat semua perubahan itu. Pohon-pohon besar dan berjenis-jenis lenyap bertumbangan menyisakan kemirisan oleh karena chainsaw-chainsaw yang dibawa oleh manusia khususnya para pengusaha yang rakus dengan uang dan memilih hanya menanam sawit untuk mendapatkannya. Pohon-pohon karet di ladang-ladang masyarakat pun ditumbang dan diratakan dengan tanah. Akibatnya Sungai Mahang pun mengering, bukan itu saja ada banyak sungai di daerah itu yang kini mengering karena penebangan hutan dan penanaman sawit. Ini dulu bahkan sempat menciptakan konflik di antara penduduk sendiri seperti di Desa Talang Jerinjing dan Talang Kedabu yang terletak di kecamatan yang sama. Muncul patih dan batin-batin yang tak resmi yang tidak diakui oleh masyarakat namun legal menurut pemerintah. Yang dicari di situ adalah tanda tangan patih dan  batin ilegal tersebut agar pengusaha bisa masuk ke lapangan untuk membuka lahan. Patih dan batin yang sah memang sulit untuk didekati karena masih memilih untuk melindungi masyarakatnya, walaupun pada akhirnya tidak kuat juga bertahan dengan godaan-godaan uang. Mereka yang bertahan dianggap bodoh dan musuh kemajuan. Terbukti sekarang ini bahwa kebodohan mereka itu menjadi kebajikan, sebab bila mereka tidak dipermainkan dan diikuti tanah-tanah leluhur mereka pasti masih asri dan sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan tentu kini masih bertahan dan akan diwariskan kepada anak cucu.

Untung tak didapat malang tak dapat ditolak demikian barangkali pepatah yang tepat untuk menjelaskan situasi di sana saat itu. Lahan-lahan karet masyarakat terjual dan diratakan dengan tanah. Kepada masyarakat diberi janji untuk mendapatkan gaji setiap bulan. Namun ternyata pada saat itu lahan menjadi terbengkalai karena pengusaha tidak melaksanakan janjinya bahkan lahan menjadi terbengkalai karena persoalan hukum yang menjerat. Proses awalnya keliru dan buruk akhirnya hasilnya pun buruk dan berdampak jelek. Pembukaan lahan demi pembangunan menimbulkan kepahitan dan penderitaan pada masyarakat. Namun slogan-slogan pembangunan dan kesejahteraan kerap disuntikkan pada masyarakat kecil demi kepentingan kaum penguasa dan pengusaha. 
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2016. KEARIFAN LOKAL - All Rights Reserved
Published by fioren sipayung
Proudly powered by Blogger